Satelit Telkom-3 telah berubah menjadi sampah antariksa seiring ketidakmampuannya mencapai orbit tujuan (yakni orbit geostasioner setinggi 35.786 km dari permukaan Bumi di atas garis khatulistiwa) maupun orbit pembuangan aman (yakni ketinggian 122 km di atas Samudera Pasifik agar satelit dapat menjatuhkan diri kembali ke Bumi secara terkontrol tanpa berdampak ke kawasan berpenduduk). Dengan bobot total satelit hanya 1,9 ton, Telkom-3 menderita kekurangan bahan bakar roket yang amat signifikan baik untuk mencapai orbit tujuan maupun pembuangan aman.
Dengan demikian satelit ini tetap menempati orbitnya sekarang, yakni dalam orbit ellips dengan eksentrisitas (kelonjongan) 0,263 sehingga memiliki perigee (titik terdekat ke permukaan Bumi) sebesar 267 km dan apogee (titik terjauh ke permukaan Bumi) sebesar 5.017 km. Dalam orbit ini satelit Telkom-3 bergerak mengelilingi Bumi sekali setiap 104 menit, sehingga dalam sehari (24 jam) bisa 10 kali mengelilingi Bumi. Orbit satelit membentuk sudut (berinklinasi) 49,9 derajat terhadap bidang khatulistiwa Bumi, sehingga titik proyeksi kedudukan satelit ini di permukaan Bumi dari waktu ke waktu saat sedang bergerak menyusuri orbitnya sebenarnya bisa berada di kawasan manapun berada di antara garis 49,9 Lintang Utara hingga 49,9 Lintang Selatan.
Gambar 1.
Satelit Telkom-3 (A) bersama satelit Ekspress-MD2 (B) dan tanki bahan bakar tambahan Briz-M (C) saat dirakit di Baikonur.
Sumber : Khrunichev, 2012
Pada hakikatnya satelit Telkom-3 takkan menempati orbit saat ini dalam seterusnya, karena satelit tetap mengalami gesekan dengan molekul-molekul udara di lapisan atmosfer bagian atas khususnya saat berada di sekitar perigee. Meski 80 % massa udara di atmosfer Bumi terletak di dalam troposfer (lapisan atmosfer terbawah), sejatinya molekul-molekul udara masih dijumpai hingga ketinggian 1.000 km meski dengan kerapatan sangat kecil. Pada lapisan-lapisan yang lebih tinggi kedudukannya dibanding troposfer, penyinaran Matahari berperanan sangat penting. Sehingga pada situasi Matahari sedang mendaki menuju puncak aktivitasnya, penyinaran menjadi lebih intensif sehingga atmosfer lebih mengembang dibanding semula. Hal itu terlihat pada perigee satelit Telkom-3. Bila Matahari dalam kondisi minimum (seperti akhir 2008 silam), suhu udara setempat mencapai 900 Kelvin dengan kerapatan udara mencapai 800 trilyun molekul per meter kubik. Sebaliknya jika Matahari dalam kondisi maksimum dan baru saja melepaskan badai Matahari besar yang mengarah ke Bumi hingga menciptakan suatu badai geomagnetik dengan kekuatan maksimum, suhu udara setempat bisa melonjak hingga lebih dari dua kali lipat mencapai 2.000 Kelvin dengan kerapatan udara juga membengkak sebesar lebih dari empat kali lipat mencapai 3.800 trilyun molekul per meter kubik.
Besarnya kerapatan udara di perigee Telkom-3, khususnya dalam situasi aktivitas Matahari yang sedang menanjak naik seperti saat ini, menyebabkan satelit secara kontinu bergesekan dengan molekul-molekul udara sehingga kecepatannya sedikit tereduksi. Berkurangnya kecepatan menyebabkan profil orbitnya pun turut berubah sedikit, ditandai dengan merosotnya perigee dan apogee-nya. Perlambatan menjadi lebih besar lagi seiring telah mengembangnya panel surya satelit Telkom-3 secara otomatis sejak 11 Agustus 2012, sehingga luas penampang satelit pun membesar. Data radar yang dirilis US Strategic Command memperlihatkan, luas penampang radar untuk satelit Telkom-3 semula adalah 8,4 meter persegi namun kini telah menjadi 9,1 meter persegi. Panel surya yang terbuka menyebabkan satelit Telkom-3 seakan-akan memiliki layar sehingga gaya hambat atmosfer yang diterimanya pun membesar. Konsekuensinya penurunan ketinggian berlangsung lebih intensif lagi. Sejak 11 Agustus 2012, perigee satelit Telkom-3 menurun sebesar rata-rata 400 meter per hari, sementara apogee-nya menurun rata-rata 600 meter per hari.
Dengan situasi demikian maka lambat laun Telkom-3 akan kian merosot orbitnya sehingga kelak bakal mencapai orbit pembuangan, meskipun berupa orbit pembuangan tak aman karena posisinya tak bisa dipastikan. Ekstrapolasi data dengan basis regresi linear dan asumsi perilaku aktivitas Matahari adalah linear seperti saat ini memperlihatkan satelit Telkom-3 kemungkinan bisa bertahan hingga Agustus 2026. Namun simulasi yang lebih hati-hati dengan memperhitungkan aktivitas Matahari menggunakan software SatEvo memperlihatkan satelit Telkom-3 bisa saja jatuh dalam lima tahun mendatang.
Planet Bercincin Besi
Dengan statusnya, satelit Telkom-3 menambah satu nama lagi ke dalam katalog benda-benda buatan manusia yang masih melayang-layang di antariksa dekat Bumi dan mayoritas diantaranya adalah barang bekas/rombengan tak berguna, sehingga dikenal sebagai sampah antariksa. Kala fajar abad antariksa bersemi seiring mengorbitnya Sputnik 1 pada 4 Oktober 1957, tak ada yang menyangka bahwa era baru yang belum pernah ada sebelumnya dalam peradaban manusia ini bakal membawa dampak samping nan dramatis hanya dalam setengah abad kemudian. Sejak era Sputnik-1, manusia telah meluncurkan lebih dari 30.000 roket dan mengirim 902 satelit ke orbit, namun hanya sebagian kecil yang masih aktif. Sebagian besar diantaranya telah menjadi bangkai dan beralih sebagai sampah antariksa. Sampah tertua adalah bangkai satelit Vanguard 1, yang diluncurkan tahun 1958 dan bakal bertahan hingga 2,5 abad ke depan. Sementara bangkai satelit terberat adalah Envisat (8,2 ton), yang diluncurkan tahun 2002 dan mati pada Mei 2012 lalu, meski bakal bertahan di orbit hingga 1,5 abad ke depan.
Namun bangkai satelit bukanlah elemen dominan pada sampah antariksa. Adalah bagian-bagian roket, khususnyaupperstage (yang berupa tingkat ketiga/keempat/kelima) yang menempati proporsi terbesar. Misalnya upperstageIUS (Inertial Upper Stage) berbahan bakar padat yang rutin digunakan untuk menempatkan satelit dari pesawat ulang alik. Demikian pula upperstage PAM (Payload Assist Module) maupun Briz-M (Breeze-M) yang sama-sama berbahan bakar cair dan menjadi andalan roket kelas berat macam Delta, Atlas, Ariane maupun Proton. Sejumlah upperstage itu bahkan lebih berat ketimbang Envisat.
Tidak seluruh bangkai satelit maupun bagian-bagian roket itu yang berbentuk utuh. Mayoritas sudah terhambur menjadi kepingan demi kepingan, entah akibat meledak, bertabrakan dengan sesamanya maupun faktor lain. Maka sampah antarika pun mengandung pula elemen mesin roket, tanki bahan bakar, tanki helium, pecahan pipa serta serpihan-serpihan kulit dan cat. Rombengan ini menempati proporsi terbesar. Peringkat kedua diduduki oleh jenis sampah antariksa yang dihasilkan dalam ujicoba sistem senjata antisatelit. Di era Perang Dingin, baik AS maupun Uni Soviet sama-sama mengembangkan sistem senjata antisatelit, baik dalam wujud peluru kendali yang diarahkan untuk menghantam satelit tertentu di orbit rendah, maupun sebuah satelit khusus yang dirancang mampu berpindah orbit menuju satelit lain yang menjadi sasarannya untuk kemudian menabraknya ataupun menghancurkannya dengan peledak khusus. Eks Uni Soviet menyumbangkan saham terbesar untuk sampah antariksa jenis ini, menyusul AS dan belakangan Cina.
Gambar 2.
Plot posisi bangkai-bangkai satelit hingga 2011, nampak mayoritas berkerumun di orbit rendah dan geostasioner. Inilah yang menjadikan Bumi sebagai planet bercincin besi.
Sumber : NASA, 2011.
Kini tercatat lebih dari 16.000 keping seukuran lebih dari 10 cm melayang-layang di antariksa dekat Bumi, disamping ratusan ribu keping lainnya yang berukuran lebih kecil. Bobot keseluruhan sampah antariksa ini diperkirakan setara dengan 62.000 ton. Mereka melayang-layang pada ketinggian yang beragam, namun secara umum terkonsentrasi pada dua kawasan, yakni orbit rendah (ketinggian kurang dari 1.000 km) dan orbit geostasioner (ketinggian 35.786 km). Di orbit rendah kumpulan sampah antariksa itu bersifat acak sehingga menyelubungi Bumi di segenap penjuru laksana awan. Sementara Di orbit geostasioner, kumpulan sampah antariksa itu terkonsentrasi hanya di atas garis khatulistiwa Bumi sehingga menyerupai cincin. Karena itu tak berlebihan jika kini Bumi disebut sebagai planet kelima di dalam tata surya yang memiliki sistem cincin, menyusul planet Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus. Hanya saja jika keempat planet lainnya memiliki sistem cincin sebagai akibat dari hancurnya satu atau lebih satelit alaminya karena bergerak mendekat hingga memasuki orbit penghancuran gravitasi (orbit Roche), maka sistem cincin di Bumi terbentuk dari kumpulan sampah antariksa yang didominasi Besi dan logam lainnya. Karena itu tidak berlebihan jika Bumi disebut sebagai planet bercincin besi.
Meski setiap keping dari sampah antariksa bakal meluruh dari posisinya saat ini sebagai akibat gesekan dengan molekul-molekul udara disekitarnya di bawah pengaruh aktivitas Matahari sehingga ia bakal jatuh dalam beberapa tahun hingga dekade ke depan, eksistensinya menjadikan antariksa kian berbahaya. Sebagai ilustrasi, 1 kg sampah antariksa yang melesat secepat 10 km/detik mampu meremukkan satelit/wahana antariksa seberat 1 ton yang sedang berada di orbitnya. Jika tabrakan itu terjadi, maka akan terbentuk lebih banyak lagi kepingan sampah antariksa sebagai akibat hancurnya satelit/wahana antariksa berbobot 1 ton itu. Bersamaan dengan kian tumbuhnya industri penerbangan antariksa di masa depan, situasi ini menghasilkan pertumbuhan sampah antariksa yang bakal kian membumbung tinggi. Ini menciptakan sindrom Kessler, saat penambahan jumlah sampah antariksa melampaui kemampuan alami atmosfer Bumi guna meluruhkannya sehingga kuantitasnya kian lama kian meningkat.
Jika tak ada langkah signifikan dan rekayasa manusia, dalam seabad ke depan jumlah sampah antariksa bisa membengkak tak terkendali. Sebagai dampaknya penerbangan antariksa masa depan akan menghadapi resiko tabrakan dengan sampah antariksa yang kian meningkat. Dalam satu dekade ke depan, resiko itu akan meningkat 50 % sedangkan dalam setengah abad ke depan diduga bakal melonjak hingga empat kali lipat. Bagaimana resiko itu meningkat bisa dilihat dari dinamika yang harus dijalani stasiun antariksa ISS. Sekeping logam seukuran 10 cm, satu dari 1.000 keping sejenis yang diproduksi tabrakan satelit Cosmos 2251 dan Iridium 33 pada 2009 silam, melesat dalam jarak yang tergolong berbahaya bagi ISS pada Januari 2012 lalu. Akibatnya roket modul Zvezda pun harus dinyalakan selama 54 detik guna mendorong ISS ke ketinggian obit rata-rata 391,4 km atau lebih tinggi 1,5 km dari semula. Penyalaan ini merupakan penyalaan tak terjadwal yang ke-13 sejak 1998 dan semuanya ditujukan guna menghindari kepingan sampah antariksa.
Peluruhan sampah antariksa pun mendatangkan masalah tersendiri seiring munculnya resiko jatuh di kawasan yang berpopulasi manusia. Dalam setahun terakhir kita menyaksikan betapa problem sampah antariksa demikian terasa seiring jatuhnya sejumlah satelit besar. Diawali oleh UARS (Upper Atmospheric Research Satellite), satelit uzur berbobot 6,5 ton yang jatuh pada 23 September 2011 di Samudera Pasifik. Sebulan kemudian satelit uzur lainnya yakni ROSAT (Roentgen Satellite) milik Jerman yang berbobot 2,4 ton menyusul jatuh, tepatnya pada 23 Oktober 2011 di kawasan hutan lebat Thailand utara. Menyusul kemudian Phobos-Grunt, wahana antariksa jumbo milik Russia dengan bobot total 13,5 ton yang adalah sampah antariksa terberat dalam satu dasawarsa terakhir setelah stasiun antariksa Mir, jatuh pada 15 Januari 2012 di Samudera Pasifik bagian timur. Harap dicatat, ketiganya jatuh tanpa bisa dikendalikan posisi kejatuhannya oleh stasiun-stasiun pengendali di Bumi seiring terbatasnya bahan bakar dan tiadanya mekanisme penggandeng untuk roket tambahan.