Akhirnya nasib satelit Telkom-3 terjawab sudah. Pada 7 Agustus 2012, hanya beberapa jam setelah satelit itu ‘menghilang’ di langit (bersama satelit Ekspress-MD2) pasca terjadinya masalah pada roket pendorong Briz-M Phase III upperstagesehingga tidak bekerja sempurna, US Strategic Command (USSTRATCOM) di AS berhasil mengonfirmasi posisinya. Satelit yang membawa 24 transponder C-band 36 MHz, 8 transponder C-band 54 MHz dan 6 transponder Ku-band 54 MHz itu ditemukan masih mengedari Bumi dalam sebuah orbit lonjong dengan titik terdekat ke permukaan Bumi (perigee) sejauh 267 km sementara titik terjauhnya (apogee) sebesar 5.017 km. Bidang orbit ini tidak sejajar dengan garis-garis lintang maupun bujur Bumi, melainkan membentuk sudut (inklinasi) hingga 49,9 derajat terhadap bidang sejajar ekuator.
Posisi ini dikonfirmasi pula secara visual oleh sejumlah pengamat satelit buatan berpengalaman di berbagai penjuru. Kevin Fetter (Canada) misalnya, berhasil merekam posisi satelit Telkom-3 pada pengamatan 7 Agustus 2012 menjelang fajar waktu Canada. Selain Telkom-3, di orbit yang sama terekam juga ‘rombongan’ tiga benda langit artifisial lainnya, yakni satelit Ekspress-MD2, roket pendorong Briz-M Phase III upperstage dan tanki bahan bakar tambahan (auxilliary propellant tank/APT).
Konfirmasi ini memastikan bahwa satelit yang dibangun oleh ISS Reshetnev (Russia) dengan perlengkapan komunikasi oleh Thales Aleniaspace (Italia) dengan total ongkos pembangunan hingga peluncuran setara Rp 1,9 trilyun (US $ 200 juta, pada kurs US $ 1 = Rp 9.500) tersesat di langit. Satelit Telkom-3 seharusnya menempati orbit geostasioner, yakni orbit berbentuk lingkaran yang terletak pada ketinggian 35.786 km tepat di atas garis khatulistiwa sehingga periode revolusi satelit tepat sama dengan periode rotasi Bumi, yakni 23 jam 54 menit 4 detik. Dengan demikian satelit Telkom-3 masih amat jauh dari tujuannya.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam peluncuran Proton-M dengan roket pendorong Briz-M Phase III upperstageyang bermasalah pada 7 Agustus 2012 juga mulai terkuak. Roket Proton-M sebenarnya bekerja sempurna sehingga berhasil membawa satelit Telkom-3 dan Eskpress-MD2 bersama roket pendorong Briz-M Phase III upperstage tanpa masalah ke orbit lingkaran setinggi 172 km dengan inklinasi 51,5 derajat.
Agar bisa mengirim muatannya ke orbit geostasioner dengan sempurna, roket pendorong Briz-M Phase II upperstage harus dinyalakan secara bertahap hingga lima kali dengan total waktu penyalaan hingga 50 menit. Penyalaan pertama berjalan dengan lancar. Demikian halnya penyalaan kedua, yang berlangsung pada 7 Agustus 2012 pukul 02:38 WIB dan berlangsung selama 17 menit 55 detik. Suksesnya penyalaan kedua menyebabkan Briz-M terdorong hingga menempati orbit lonjong dengan perigee 266 km dan apogee 5.014 km. Namun kedua sukses ini tidak diikuti oleh penyalaan ketiga. Pada pukul 06:00 WIB saat roket berada di atas Chile, penyalaan tahap ketiga Briz-M dimulai. Seharusnya roket Briz-M menyala selama 18 menit 7 detik, namun saat baru berjalan 7 detik mendadak mesin roketnya mati tanpa bisa dinyalakan lagi. Implikasinya, Briz-M pun segera melepaskan satelit Telkom-3 dan 30 menit kemudian menyusul satelit Ekspress-MD2 dan dipungkasi dengan pelepasan tanki bahan bakar tambahan.
Apa penyebab roket Briz-M mati lebih awal dibanding seharusnya belum jelas benar. Awalnya koran “Kommersant” memberitakan masalahnya terletak pada bahan bakar yang berkualitas rendah dan kegagalan pompa turbo memasok bahan bakar ke mesin, setelah dua tahap penyalaan sukses. Namun di hari berikutnya koran ini menyatakan, kegagalan Briz-M akibat patahnya saluran bahan bakar atau terjadi kontaminasi bahan bakar pasca penyalaan tahap kedua. Untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi maka Russia, yang amat tertampar mukanya akibat kegagalan ini, segera membentuk komisi yang beranggotakan penyelidik dari badan antariksa Russia (Roscosmos) dan operator roket Proton (Khrunichev).
Sampah Antariksa
Dengan kondisi saat ini sebagai obyek artifisial yang mengedari Bumi dalam orbit lonjong dengan perigee 267 km, apogee 5.017 km dan menyelesaikan satu putaran setiap 142 menit sementara di sisi lain satelit ini telah terlepas sepenuhnya dari roket pendorong Briz-M, maka satelit Telkom-3 telah berubah statusnya menjadi sampah antariksa. Satelit ini kemungkinan memang masih sehat, dalam arti semua instrumennya mungkin tetap normal dan bisa bekerja penuh. Namun ia kekurangan bahan bakar guna menjangkau orbit transfer geostasioner, apalagi guna menuju orbit geostasioner.
Karena kosmodrom Baikonur yang menjadi tempat peluncuran satelit Telkom-3 terletak di daerah lintang tinggi, maka setiap obyek artifisial yang diluncurkan dari sini selalu menempati orbit awal dengan ketinggian antara 150 hingga 300 km dengan inklinasi 50 derajat. Ini disebut orbit parkir. Karena satelit Telkom-3 ditujukan untuk menempati orbit geostasioner, maka ia harus didorong terlebih dahulu untuk menempati orbit transfer geostasioner. Orbit transfer geostasioner adalah orbit lonjong dengan apogee tepat senilai 35.786 km dengan inklinasi tertentu. Dari orbit transfer geostasioner ini, khususnya dari titik apogee, barulah satelit bisa digeser ke orbit geostasioner. Jadi, satelit Telkom-3 tidak bisa langsung ditempatkan begitu saja di tujuannya, melainkan harus melewati minimal tiga tahap. Untuk pergi dari orbit parkir ke orbit transfer, demikian pula dari orbit transfer ke orbit geostasioner, ada rumus-rumus matematis yang harus dihitung terlebih dahulu guna memperkirakan besarnya jumlah bahan bakar yang harus digunakan.
Mari kita hitung. Satelit Telkom-3 memiliki bobot 1,9 ton. Maka agar bisa terbang dari pada posisi orbit saat ini khususnya dari titik apogee 5.017 km hingga mencapai orbit transfer geostasioner dengan inklinasi tak berubah (yakni 49,9 derajat), satelit Telkom-3 butuh bahan bakar roket (dimetil hidrazin asimetrik-nitrogen tetroksida) sebanyak 194 % bobotnya atau setara dengan 3,7 ton. Sementara untuk menggesernya ke orbit geostasioner dibutuhkan bahan bakar sebanyak 29 % bobotnya atau setara dengan 0,6 ton. Dengan demikian secara akumulatif satelit Telkom-3 butuh bahan bakar roket sebanyak 4,3 ton. Sayangnya, jumlah ini terlalu banyak dan tak dimiliki satelit itu, sehingga tak memungkinkan baginya bahkan untuk sekedar pergi ke orbit transfer geostasioner.
Jika tidak bisa pergi ke tujuan, bagaimana jika dijatuhkan saja (kembali ke Bumi) secara terkendali? Sama. Itupun sulit. Untuk menjatuhkan satelit Telkom-3 ke Bumi, ia harus diturunkan ke ketinggian 122 km, yakni batas empiris antara lapisan udara yang lebih tebal dengan tipis. Telkom-3 juga harus digeser dari orbit berinklinasi tinggi ke inklinasi tertentu yang memungkinkannya jatuh di lautan luas tak berpenghuni (umumnya dipilih Samudera Pasifik). Nah guna menurunkan diri ke ketinggian 122 km (dari perigee 267 km) dibutuhkan bahan bakar sebanyak 102 % bobot satelit, atau setara 1,94 ton. Tambahkan 0,6 ton guna menggeser inklinasinya, maka secara akumulatif dibutuhkan paling tidak 2,5 ton bahan bakar. Padahal satelit Telkom-3 juga tidak punya bahan bakar sebanyak itu.
Perlintasan 15 Agustus 2012
Alhasil, satelit Telkom-3 menjumpai situasi pelik: tak bisa dikirim ke tujuannya dan sebaliknya tak bisa pula dijatuhkan secara terkendali ke Bumi. Maka ia pun menjadi sampah antariksa, jenis sampah termahal di antara beragam sampah lainnya dalam kehidupan manusia di Bumi karena senilai Rp 1,9 trilyun.
Sampah antariksa ini jelas bakal jatuh kembali ke Bumi, namun kapan dan dimana waktunya masih belum jelas. Yang pasti, pada 15 Agustus 2012 jelang fajar, sampah antariksa ini bakal melintas di atas Sulawesi Utara ke tenggara menuju Australia. Penduduk pulau Jawa akan melihatnya bergerak dari arah utara menuju tenggara sejak pukul 04:08 WIB hingga pukul 05:07 WIB. Berturut-turut rasi-rasi bintang yang dilintasinya adalah Cepheus, Cassiopea, Perseus, Taurus, Orion dan Canis Major.
0 komentar:
Posting Komentar