Jumat, 31 Agustus 2012

Supervolcano di AS Bisa Mengancam Bumi?


Ancaman mengintai dari Taman Nasional Yellowstone yang indah
Sulit untuk tidak merasa kagum kala berdiri di tengah Taman Nasional Yellowstone. Saat geyser Old Smith menyembur, seakan mencapai langit. Saturasi warna biru dan hijau di kolam geotermal berpinggiran terang, menawarkan pemandangan yang indah. 

Pegunungan yang menjulang diselimuti vegetasi lebat, menyediakan tempat tinggal bagi hewan-hewan liar. Namun, di balik keindahan Yellowstone, ancaman mengintai. Sebuah gunung berapi besar (supervolcano) yang cukup kuat untuk menghancurkan sebagian besar wilayah Amerika Serikat dan mengubah dunia, bersemayam di sana.

"Yellowstone dan sejumlah gunung berapi di dunia disebutsupervolcano. Alasannya, ukurannya yang besar," kata Hank Hessler, ahli geologi Yellowstone di negara bagian Wyoming, AS.

Selain ukurannya, supervolkano juga mampu menghasilkan letusan dahsyat dengan area lebih dari 1.000 kilometer kubik (240 mil kubik). Saat magma dalam bumi tak mampu menembus kerak. Menciptakan tekanan besar yang terus mendorong magma hingga tercipta kolam magma yang cukup besar.

Ini contoh perbandingannya: pada 18 Mei 1980, Gunung St Helens meletus, yang dari segi kekuatan maupun kerugian ekonominya terparah sepanjang sejarah AS. Sebanyak 57 orang tewas, dan puncak gunung berkurang dari 2.950 meter berkurang menjadi 2.550 m.

Sementara saat supervulcano Yellowstone erupsi 2,1 juta tahun lalu, kekuatannya 25.000 kali kekuatan St Helens. Dua letusan lainnya, 1,3 juta tahun lalu dan 640 ribu tahun lalu, meski lebih kecil dari yang pertama, jauh lebih dahsyat dari letusan gunung normal lainnya.

Atau dengan kata lain, berada di atas taman nasional yang tenang itu sejatinya sedang duduk di atas mulut raksasa tidur.

Karakteristik supervolcano tidak seperti gunung kebanyakan yang berbentuk mengerucut. Sebaliknya, gunung super punya apa yang disebut kaldera, area luas yang melesak masuk ke dalam tanah akibat erupsi mahadahsyat yang membuat tanah meledak dan jatuh kembali, beristirahat panjang. Untuk akhirnya terbangun lagi pada suatu masa nanti.

Geofisikawan Bon Smith adalah orang yang kali pertama menyebut Yellowstone sebagai kaldera hidup yang bernafas pada 1979. Kini ia mengepalai Observatorium Volcano Yellowstone di University of Utah. "Yellowstone punya arti sangat penting, dia adalah laboratorium saya," kata dia.

Smith dan timnya memasang serangkaian sensor berbeda di sekitar taman nasional, sehingga mereka bisa mengawasi tanda-tanda vital. Mereka mengukur gerakan tanah dan mencatat gempa yang terjadi di area itu.

Sensor tersebut telah membantu Smith dan timnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di sana. Sedikitnya 8 kilometer di bawah permukaan, tersimpan batuan padat dan magma.

Dan di bawahnya, terdapat 57.000 kilometer kubik batuan yang sangat panas, energi di balik kolam menggelegak dan geyser di Yellowstone.

"Kiamat" 
Apa yang akan terjadi jika Yellowstone meletus? Dalam bukunya "Windows into the Earth", Smith mengatakan, jika di masa depan ia kembali meletus, yang terjadi adalah petaka. "Sebuah kehancuran besar dan tak bisa dipahami," kata dia.

Sebelum letusan mahadahsyat itu terjadi, lindu besar akan kuat mengguncang area sekitarnya, lalu ledakan besar akan menyapu bersih Yellowstone, membuatnya lenyap dari peta.

Kemudian, awan panas dan batuan membara membakar apapun yang dilewatinya, dengan suhu mencapai ratusan derajat Celcius. Abu akan menyelimuti bagian barat AS, masuk ke mesin pesawat terbang, melumpuhkan transportasi udara, mengancam pasokan pangan dunia.

Jatuhnya korban jiwa tak bisa dicegah. Sekitar 87.000 orang akan tewas seketika, belum lagi yang menyusul akibat dampak susulan.

Kini yang jadi pertanyaan adalah, kapan Yellowstone akan meletus?

Untuk diketahui, tiga letusan gunung super itu terjadi dalam jeda sekitar 800.000 tahun. Orang-orang mulai berspekulasi, letusan selanjutnya tinggal menunggu waktu.

Apalagi, pada 2004, tim Smith menemukan ada kenaikan tanah, lalu kembali turun pada 2010 lalu. Seakan gunung itu sedang bernafas.

Namun, kata Smith, orang-orang tak perlu panik. "Kami telah menyusun skrenario kasar. Kami telah memperkirakan pola waktu dan ruang berdasarkan informasi gempa yang ada. Dan seperti pengalaman di bagian lain di muka bumi, kami menggunakan data tersebut untuk menginterpretasikan potensi ancaman dan risiko," tambah dia. Dengan mengetahui sifatnya, tindakan pencegahan untuk meminimalisasi risiko bisa dilakukan.
Menurutnya, ancaman paling dekat terkait Yellowstone adalah gempa bumi dan letusan-letusan kecil. Kemungkinan untuk terjadi lebih besar dari sebuah letusan kolosal.

Buat Satelit, NASA Gunakan Smartphone Android


PhoneSat, satelit NASA yang berbasis Android
Badan Antariksa Amerika Serikat sedang menargetkan untuk bisa meluncurkan sejumlah lini satelit kecil, yang lebih mudah dan murah. Satelit itu akan dinamakan "PhoneSats".

Mengutip laman Mashable, untuk mencapai itu para insinyur NASA menggunakan smartphone Android yang belum dimodifikasi, untuk menampilkan sejumlah fungsi kunci satelit. Prototipe smartphone yang digunakan antara lain sejumlah smartphone HTC, Google Nexus One, dan Samsung Nexus S.
PhoneSat, satelit NASA yang berbasis Android
NASA pun kemudian menjelaskan di situsnya, smartphoneyang digunakan "menawarkan kemampuan yang dibutuhkan untuk sistem satelit, termasuk prosesor cepat, sistem operasi yang mudah diadaptasi, multiple miniature sensors, kamera beresolusi tinggi, penerima GPS, dan radio.

"Pendekatan ini memungkinkan para insinyur untuk melihat kemampuan yang disediakan teknologi komersial, daripada untuk mencoba mendesain teknologi yang dikustomisasi sesuai kebutuhan," demikian pernyataan NASA.

Total pengeluaran untuk prototipe satelit ini mencapai US$ 3.500. Tiga satelit diharapkan bisa diluncurkan, dengan menumpang penerbangan pertama roket Antares milik Orbital Science Corporation. Peluncuran akan dilakukan dari fasilitas milik NASA di Pulau Wallops, Amerika Serikat, beberapa waktu mendatang.

Satelit LAPAN A2 Siap Meluncur Tahun Depan


Ilustrasi satelit
 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah merampungkan pembuatan satelit Lapan A2. Satelit ini akan diluncurkan ke orbit tahun depan.

"Satelit ini akan diluncurkan dengan menggunakan roket India dari Sriharikota," kata Kepala Bagian Humas LAPAN, Elly Kuntjahyowati dalam keterangan tertulis yang diterimaVIVAnews, Kamis 29 Agustus 2012.

Lapan A2 merupakan satelit kedua yang dibuat oleh Indonesia. Satelit pertama buatan Indonesia adalah Lapan-Tubsat, yang diluncurkan pada 2007 dari India.

Lapan-Tubsat dibangun oleh para peneliti dan perekayasa LAPAN bekerja sama dengan Technische Universitat Berlin, Jerman. Hebatnya, meski diprediksi hanya mampu beroperasi selama dua tahun, Lapan-Tubsat masih berfungsi dengan baik hingga saat ini.

Keberhasilan Lapan-Tubsat ini menjadi semangat LAPAN untuk mengembangkan Lapan A2. "Dan kali ini, satelit ini sepenuhnya dibangun di Pusat Teknologi Satelit LAPAN di Rancabungur, Bogor, Jawa Barat," kata Elly.

Satelit Lapan A2, kata Elly, dirancang untuk tiga misi, yaitu pengamatan bumi, pemantauan kapal, dan komunikasi radio amatir. Sejatinya, Lapan A2 merupakan satelit yang sama dengan Lapan-Tubsat. Bedanya, Lapan A2 punya sensor lebih bagus dari Lapan-Tubsat.

"Satelit ini (Lapan A2) memiliki sensor Automatic Identification System (AIS) untuk identifikasi kapal layar yang melintas di wilayah yang dilewati satelit. Dengan demikian, Lapan A2 mampu memantau lalu lintas di wilayah laut Indonesia," ujar Elly.
Orbit Ekuatorial
Dia menjelaskan, satelit seberat 78 kilogram ini akan mengorbit pada ketinggian 650 kilometer. Lapan A2 juga akan melintas wilayah Indonesia sebanyak 14 kali sehari dengan lama waktu melintas selama 20 menit.

Pada orbit AIS, Lapan A2 mampu mendeteksi dalam radius lebih dari 100 kilometer. Satelit ini nantinya mampu menerima sinyal maksimal 2000 kapal dalam dalam satu daerah cakupan.

Elly menambahkan, Lapan A2 akan mengorbit secara ekuatorial. "Nantinya, Lapan A2 akan menjadi satelit pemantauan bumi pertama di dunia yang memiliki orbit ekuatorial," ujar Elly. 

Blue Moon Akan Muncul Malam Ini


fenomena bulan biru
Langit malam akan kembali memperlihatkan fenomena unik malam ini. Jika beruntung, Anda bisa melihat fenomena blue moon, Jumat malam, 31 Agustus 2012.
Space.com menyebut fenomena ini terjadi tiap 2,7 tahun sekali. Karena peristiwa ini akan berlangsung tak lama setelah kematian Neil Armstrong, maka blue moon akan dijadikan penghormatan terakhir untuk astronot Amerika Serikat itu. Dalam misi Apollo 11, Neil Armstrong merupakan manusia pertama yang menginjakkan kaki di bulan, disusul rekannya, Buzz Aldrin.

'Bulan biru' ini akan dieksplorasi dengan Slooh Space Camera. "Blue Moon dan Slooh yang akan melakukan eksplorasi memang langka. Namun tidak selangka seperti keberanian dan talenta mendiang Neil Armstrong, manusia pertama yang menginjakkan kaki di tetangga terdekatnya," kata Bob Berman, astronom yang juga editor Slooh, dikutip dariSpace.com.

Terakhir kali, 'bulan biru' itu muncul pada bulan Maret 2010, atau tepat 30 bulan lalu. Mengenai warna biru yang terjadi di bulan, itu disebabkan debu di atmosfer yang menghalangi pandangan warna manusia ke bulan. Bahkan setelah Krakatau meletus pada 1883, sisa debunya disebut menyebabkan warna bulan terlihat biru selama dua tahun.

Tapi perhitungan kemunculan blue moon sendiri tidak mengacu pada warna, melainkan mengacu pada dua purnama penuh dalam satu bulan. Atau ada juga yang menghitung berdasarkan purnama ketiga dari empat purnama yang berlangsung di satu musim.

Definisi 'bulan biru' sendiri di bidang astronomi pertama kali muncul di 1946. Saat itu pengamat astronomi James Pruett membaca sebuah frase di Maine Farmers' Almanac. Bulan itu didefinisi sebagai purnama ketiga di suatu musim dari empat purnama yang ada. Pruett salah menginterpretasi itu sebagai dua purnama di suatu bulan.

Tapi ada catatan lain mengenai istilah blue moon, yaitu untuk merujuk sesuatu yang jarang terjadi tapi dianggap benar. Mengutip Guardian, istilah ini mengacu pada suatu akta religi di tahun 1524, yang menyebut: "If they say the moon is belewe. We must believe that is true".

"Jika mereka mengatakan bulan itu mendua. Kita harus percaya bahwa itu benar".

Karena itu banyak juga yang menyebut peristiwa itu sebagai "belewe moon" atau bulan yang mendua.

Pertama, Multiplanet di Sistem Bintang Ganda

'

Astronom untuk kali pertama berhasil menemukan lebih dari satu planet yang mengelilingi sistem bintang ganda pada saat bersamaan. Penemuan kali ini membuktikan bahwa planet dapat eksis di tempat yang tak diduga dan memberi harapan pada penemuan planet layak huni selain Bumi.

Planet ditemukan lewat analisis data teleskop antariksa Kepler yang sejak diluncurkan pada Maret 2009 berhasil mendeteksi 2300 kandidat planet. Planet yang ditemukan berada di sistem Kepler 47, sistem yang terdiri dari bintang seukuran Matahari serta bintang lain yang berukuran 1/3 Matahari dan 175 kali lebih redup, berjarak 5.000 tahun cahaya.

Planet yang ditemukan adalah planet gas raksasa seukuran Neptunus. Nama planet yang ditemukan masing-masing adalah Kepler 47b yang berdiameter 3 kali Bumi dan Kepler 47c yang berukuran 4,6 kali Bumi. Planet ditemukan dengan metode transit, melihat peredupan cahaya bintang saat ada planet yang melintas.

Astronom mendeskripsikan, bintang dalam sistem bintang ganda ini mengelilingi satu sama lain dalam waktu 7,5 hari. Sementara itu, planet yang letaknya lebih dekat bintang mengelilinginya dalam wakltu 49,5 hari. Adapun planet yang lebih jauh dalam waktu 303,2 hari.

Satu hal yang menarik, Kepler 47c ternyata terletak di zona layak huni. Zona ini dikenal tak terlalu panas dan dingin, memungkinkan adanya air dalam bentuk cair yang mendukung kehidupan. Planet layak huni di sistem bintang ganda ini adalah pertama yang pernah ditemukan.

Karakteristik Kepler 47c yang merupakan planet gas tentu tak memungkinan adanya kehidupan. Namun, William Welsh dari San Diego State University yang terlibat riset mengatakan, "Jika planet ini memiliki bulan besar, maka ini akan menjadi dunia yang menarik."

Jerome Orosz dari San Diego State University yang memimpin studi mengungkapkan, dunia planet di sistem Kepler 47 sangat unik. Jika diasumsikan bahwa lama waktu sehari di Kepler 47b atau c adalah 24 jam, maka siang di planet itu bisa lebih dari 12 jam.

Keunikan lain adalah gerhana matahari yang terjadi secara reguler. "Dalam kasus Kepler 47, ketika bintang kedua melewati bintang pertama, cahaya akan berkurang 15 persen. Ini akan terjadi setiap 7,5 hari," papar Orosz seperti dikutip Space.com, Selasa (28/8/2012).

Sebelumnya, planet dikatakan tidak mungkin eksis di sistem bintang ganda. Penemuan lebih dari satu planet di sistem bintang ganda sekaligus adanya planet yang layak huni membuka harapan baru pada pencarian tempat yang menyimpan kehidupan.

"Langkah selanjutnya adalah mencari planet lain yang lebih kecil. Jika Anda memandang langit malam, maka separuh bintang yang ada berada di sistem bintang ganda. Fakta bahwa Anda menemukan planet di zona layak huni di sistem bintang ganda berarti bahwa Anda punya banyak real estate yang potensial untuk kehidupan," kata Orosz seperti dikutip AFP, Selasa.

Penemuan ini dipublikasikan di jurnal Science yang terbit kemarin. Peneliti juga memaparkan penemuannya di General Assembly of the International Astronomical Union yang berlangsung di Beijing, Rabu (29/8/2012) hari ini.

Bulan Biru, Berikan Kedipan untuk Neil Armstrong



Fenomena Bulan Biru akan terjadi pada Jumat (31/8/2012) malam ini. Momen itu adalah saat yang tepat untuk mengenang Neil Armstrong, manusia pertama yang mendarat di Bulan, yang meninggal Sabtu (25/8/2012) lalu dalam usia 82 tahun.

Bulan Biru sebenarnya hanya kiasan, tidak berarti Bulan berwarna biru. Bulan Biru adalah istilah untuk purnama kedua pada bulan yang sama. Jumat malam ini ialah purnama kedua untuk bulan Agustus. Purnama pertama terjadi 1 Agustus 2012 lalu.

Fenomena Bulan Biru tahun 2012 yang terjadi hari ini istimewa sebab terjadi seminggu setelah kematian Armstrong. AP pada Rabu (29/8/2012) memberitakan, fenomena bulan biru tahun ini bertepatan hari diadakannya ibadah penghiburan untuk Armstrong.

Keluarga Armstrong dalam pernyataan resmi seperti dikutip NASA Sabtu (25/8/2012) lalu mengatakan, "Bagi mereka yang bertanya apa yang bisa mereka lakukan untuk menghormati Neil, kita punya permintaan sederhana. Hormatilah pelayanan, prestasi dan kerendahan hatinya. Dan saat Anda berada di luar pada malam yang cerah dan melihat bulan tersenyum pada Anda, ingatlah Neil Armstrong dan berikan kedipan padanya."

Karenanya, Bulan Biru tahun ini adalah saat yang tepat untuk memberikan penghormatan pada Armstrong sesuai dengan permintaan keluarganya.

Bagi yang ingin menyaksikan Bulan Biru dan memberikan penghargaan bagi Armstrong malam ini, Mutoha Arkanuddin dari Jogja Astro Club (JAC) beberapa hari lalu mengatakan, "Waktu terbaik untuk pengamatan adalah di langit timur sekitar pukul 21.00 saat posisi bulan cukup nyaman untuk dipandang."

Saat purnama, pengamat bisa melihat lebih jelas permukaan Bulan. Mutoha mengatakan, akan tampak pola gambar di permukaan Bulan yang mirip kepiting, anak burung, wayang ataupun kelinci. Pola itu menunjukkan permukaan Bulan yang tidak rata.

Bulan Biru merupakan fenomena langka, terjadi hanya 3 tahun sekali. Fenomena ini terjadi sebab satu bulan dalam kalender Masehi (maksimal 31 hari) tidak sama dengan waktu orbit Bulan (29,5 hari).

Jadi, jangan lupa untuk melihat fenomena ini. Fenomena Bulan Biru berikutnya baru akan terjadi pada 31 Juli 2015.

Bulan Biru Bisa Disaksikan Jumat Malam



Fenomena unik bernama Bulan Biru bisa disaksikan pada akhir pekan ini, tepatnya 31 Agustus 2012 malam. Seperti pengamatan Bulan biasa, fenomena ini bisa dilihat dengan mata telanjang.

Mutoha Arkanuddin dari Jogja Astro Club (JAC) Selasa (28/8/2012) mengatakan, "Bulan purnama kedua yang terjadi pada bulan kali ini dikenal sebagai Blue Moon adalah sebuah kejadian yang termasuk langka."

Langkanya fenomena tersebut melatarbelakangi munculnya ungkapan "once in a blue moon". Dalam arti sebenarnya, fenomena Bulan Biru muncul setiap 3 tahunan. Ini disebabkan oleh lunasi Bulan yang lamanya 29,5 hari sementara satu bulan dalam kalender masehi ada yang 31 hari.

Pada Jumat nanti, purnama kedua atau Bulan Biru akan bisa disaksikan mulai pukul 20.59 WIB. "Waktu terbaik untuk pengamatan adalah di langit timur sekitar pukul 21.00 saat posisi bulan cukup nyaman untuk dipandang," jelas Mutoha.

Menurut Mutoha, saat purnama merupakan saat yang tepat untuk mengamati permukaan Bulan. Pasalnya, pada saat itu seluruh permukaan Bulan yang menghadap ke Bumi disinari oleh Matahari. Pola gambar yang ada di permukaan Bulan bisa dilihat dengan mata telanjang.

"Ada yang mengatakan mirip gambar wanita, gambar kepiting, mirip gambar wayang, anak burung atau mirip gambar kelinci. Anak saya menyebutnya mirip dinosaurus," papar Mutoha. Mana yang benar, setiap orang bisa menilaianya lewat pengamatan. 

Meski fenomenanya bernama Bulan Biru, tak berarti saat itu Bulan berwarna biru. Bulan Biru di sini hanyalah kiasan untuk menggambarkan jarangnya kejadian itu. Istilah Bulan biru sendiri muncul karena sejarah dimana saat purnama kedua terjadi, ada kebakaran yang menghasilkan asap sehingga Bulan saat itu berwarna biru.

Mau mengamatai Bulan Biru? Keluarlah pada Jumat malam dan cari lokasi yang tepat. Siapa tahu, Bulan nanti akan berwarna biru karena suatu sebab, mewujudkan fantasi tentang Bulan berwarna biru. 

Bulan yang nyata berwarna biru pernah terjadi sebelumnya. Saat Gerhana Bulan tanggal 9 Desember 1992 misalnya, bulan berwarna kebiruan akibat pengaruh letusan Gunung Pinatubo. Bulan saat gerhana yang berwarna biru juga teramati dari Gombong pada gerhana tanggal 10 Desember 2011 lalu.

Selasa, 28 Agustus 2012

Saga Planet Bercincin Besi


Satelit Telkom-3 telah berubah menjadi sampah antariksa seiring ketidakmampuannya mencapai orbit tujuan (yakni orbit geostasioner setinggi 35.786 km dari permukaan Bumi di atas garis khatulistiwa) maupun orbit pembuangan aman (yakni ketinggian 122 km di atas Samudera Pasifik agar satelit dapat menjatuhkan diri kembali ke Bumi secara terkontrol tanpa berdampak ke kawasan berpenduduk). Dengan bobot total satelit hanya 1,9 ton, Telkom-3 menderita kekurangan bahan bakar roket yang amat signifikan baik untuk mencapai orbit tujuan maupun pembuangan aman.
Dengan demikian satelit ini tetap menempati orbitnya sekarang, yakni dalam orbit ellips dengan eksentrisitas (kelonjongan) 0,263 sehingga memiliki perigee (titik terdekat ke permukaan Bumi) sebesar 267 km dan apogee (titik terjauh ke permukaan Bumi) sebesar 5.017 km. Dalam orbit ini satelit Telkom-3 bergerak mengelilingi Bumi sekali setiap 104 menit, sehingga dalam sehari (24 jam) bisa 10 kali mengelilingi Bumi. Orbit satelit membentuk sudut (berinklinasi) 49,9 derajat terhadap bidang khatulistiwa Bumi, sehingga titik proyeksi kedudukan satelit ini di permukaan Bumi dari waktu ke waktu saat sedang bergerak menyusuri orbitnya sebenarnya bisa berada di kawasan manapun berada di antara garis 49,9 Lintang Utara hingga 49,9 Lintang Selatan.
Gambar 1.
Satelit Telkom-3 (A) bersama satelit Ekspress-MD2 (B) dan tanki bahan bakar tambahan Briz-M (C) saat dirakit di Baikonur.
Sumber : Khrunichev, 2012
Pada hakikatnya satelit Telkom-3 takkan menempati orbit saat ini dalam seterusnya, karena satelit tetap mengalami gesekan dengan molekul-molekul udara di lapisan atmosfer bagian atas khususnya saat berada di sekitar perigee. Meski 80 % massa udara di atmosfer Bumi terletak di dalam troposfer (lapisan atmosfer terbawah), sejatinya molekul-molekul udara masih dijumpai hingga ketinggian 1.000 km meski dengan kerapatan sangat kecil. Pada lapisan-lapisan yang lebih tinggi kedudukannya dibanding troposfer, penyinaran Matahari berperanan sangat penting. Sehingga pada situasi Matahari sedang mendaki menuju puncak aktivitasnya, penyinaran menjadi lebih intensif sehingga atmosfer lebih mengembang dibanding semula. Hal itu terlihat pada perigee satelit Telkom-3. Bila Matahari dalam kondisi minimum (seperti akhir 2008 silam), suhu udara setempat mencapai 900 Kelvin dengan kerapatan udara mencapai 800 trilyun molekul per meter kubik. Sebaliknya jika Matahari dalam kondisi maksimum dan baru saja melepaskan badai Matahari besar yang mengarah ke Bumi hingga menciptakan suatu badai geomagnetik dengan kekuatan maksimum, suhu udara setempat bisa melonjak hingga lebih dari dua kali lipat mencapai 2.000 Kelvin dengan kerapatan udara juga membengkak sebesar lebih dari empat kali lipat mencapai 3.800 trilyun molekul per meter kubik.
Besarnya kerapatan udara di perigee Telkom-3, khususnya dalam situasi aktivitas Matahari yang sedang menanjak naik seperti saat ini, menyebabkan satelit secara kontinu bergesekan dengan molekul-molekul udara sehingga kecepatannya sedikit tereduksi. Berkurangnya kecepatan menyebabkan profil orbitnya pun turut berubah sedikit, ditandai dengan merosotnya perigee dan apogee-nya. Perlambatan menjadi lebih besar lagi seiring telah mengembangnya panel surya satelit Telkom-3 secara otomatis sejak 11 Agustus 2012, sehingga luas penampang satelit pun membesar. Data radar yang dirilis US Strategic Command memperlihatkan, luas penampang radar untuk satelit Telkom-3 semula adalah 8,4 meter persegi namun kini telah menjadi 9,1 meter persegi. Panel surya yang terbuka menyebabkan satelit Telkom-3 seakan-akan memiliki layar sehingga gaya hambat atmosfer yang diterimanya pun membesar. Konsekuensinya penurunan ketinggian berlangsung lebih intensif lagi. Sejak 11 Agustus 2012, perigee satelit Telkom-3 menurun sebesar rata-rata 400 meter per hari, sementara apogee-nya menurun rata-rata 600 meter per hari.
Dengan situasi demikian maka lambat laun Telkom-3 akan kian merosot orbitnya sehingga kelak bakal mencapai orbit pembuangan, meskipun berupa orbit pembuangan tak aman karena posisinya tak bisa dipastikan. Ekstrapolasi data dengan basis regresi linear dan asumsi perilaku aktivitas Matahari adalah linear seperti saat ini memperlihatkan satelit Telkom-3 kemungkinan bisa bertahan hingga Agustus 2026. Namun simulasi yang lebih hati-hati dengan memperhitungkan aktivitas Matahari menggunakan software SatEvo memperlihatkan satelit Telkom-3 bisa saja jatuh dalam lima tahun mendatang.
Planet Bercincin Besi
Dengan statusnya, satelit Telkom-3 menambah satu nama lagi ke dalam katalog benda-benda buatan manusia yang masih melayang-layang di antariksa dekat Bumi dan mayoritas diantaranya adalah barang bekas/rombengan tak berguna, sehingga dikenal sebagai sampah antariksa. Kala fajar abad antariksa bersemi seiring mengorbitnya Sputnik 1 pada 4 Oktober 1957, tak ada yang menyangka bahwa era baru yang belum pernah ada sebelumnya dalam peradaban manusia ini bakal membawa dampak samping nan dramatis hanya dalam setengah abad kemudian. Sejak era Sputnik-1, manusia telah meluncurkan lebih dari 30.000 roket dan mengirim 902 satelit ke orbit, namun hanya sebagian kecil yang masih aktif. Sebagian besar diantaranya telah menjadi bangkai dan beralih sebagai sampah antariksa. Sampah tertua adalah bangkai satelit Vanguard 1, yang diluncurkan tahun 1958 dan bakal bertahan hingga 2,5 abad ke depan. Sementara bangkai satelit terberat adalah Envisat (8,2 ton), yang diluncurkan tahun 2002 dan mati pada Mei 2012 lalu, meski bakal bertahan di orbit hingga 1,5 abad ke depan.
Namun bangkai satelit bukanlah elemen dominan pada sampah antariksa. Adalah bagian-bagian roket, khususnyaupperstage (yang berupa tingkat ketiga/keempat/kelima) yang menempati proporsi terbesar. Misalnya upperstageIUS (Inertial Upper Stage) berbahan bakar padat yang rutin digunakan untuk menempatkan satelit dari pesawat ulang alik. Demikian pula upperstage PAM (Payload Assist Module) maupun Briz-M (Breeze-M) yang sama-sama berbahan bakar cair dan menjadi andalan roket kelas berat macam Delta, Atlas, Ariane maupun Proton. Sejumlah upperstage itu bahkan lebih berat ketimbang Envisat.
Tidak seluruh bangkai satelit maupun bagian-bagian roket itu yang berbentuk utuh. Mayoritas sudah terhambur menjadi kepingan demi kepingan, entah akibat meledak, bertabrakan dengan sesamanya maupun faktor lain. Maka sampah antarika pun mengandung pula elemen mesin roket, tanki bahan bakar, tanki helium, pecahan pipa serta serpihan-serpihan kulit dan cat. Rombengan ini menempati proporsi terbesar. Peringkat kedua diduduki oleh jenis sampah antariksa yang dihasilkan dalam ujicoba sistem senjata antisatelit. Di era Perang Dingin, baik AS maupun Uni Soviet sama-sama mengembangkan sistem senjata antisatelit, baik dalam wujud peluru kendali yang diarahkan untuk menghantam satelit tertentu di orbit rendah, maupun sebuah satelit khusus yang dirancang mampu berpindah orbit menuju satelit lain yang menjadi sasarannya untuk kemudian menabraknya ataupun menghancurkannya dengan peledak khusus. Eks Uni Soviet menyumbangkan saham terbesar untuk sampah antariksa jenis ini, menyusul AS dan belakangan Cina.
Gambar 2.
Plot posisi bangkai-bangkai satelit hingga 2011, nampak mayoritas berkerumun di orbit rendah dan geostasioner. Inilah yang menjadikan Bumi sebagai planet bercincin besi.
Sumber : NASA, 2011.
Kini tercatat lebih dari 16.000 keping seukuran lebih dari 10 cm melayang-layang di antariksa dekat Bumi, disamping ratusan ribu keping lainnya yang berukuran lebih kecil. Bobot keseluruhan sampah antariksa ini diperkirakan setara dengan 62.000 ton. Mereka melayang-layang pada ketinggian yang beragam, namun secara umum terkonsentrasi pada dua kawasan, yakni orbit rendah (ketinggian kurang dari 1.000 km) dan orbit geostasioner (ketinggian 35.786 km). Di orbit rendah kumpulan sampah antariksa itu bersifat acak sehingga menyelubungi Bumi di segenap penjuru laksana awan. Sementara Di orbit geostasioner, kumpulan sampah antariksa itu terkonsentrasi hanya di atas garis khatulistiwa Bumi sehingga menyerupai cincin. Karena itu tak berlebihan jika kini Bumi disebut sebagai planet kelima di dalam tata surya yang memiliki sistem cincin, menyusul planet Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus. Hanya saja jika keempat planet lainnya memiliki sistem cincin sebagai akibat dari hancurnya satu atau lebih satelit alaminya karena bergerak mendekat hingga memasuki orbit penghancuran gravitasi (orbit Roche), maka sistem cincin di Bumi terbentuk dari kumpulan sampah antariksa yang didominasi Besi dan logam lainnya. Karena itu tidak berlebihan jika Bumi disebut sebagai planet bercincin besi.
Meski setiap keping dari sampah antariksa bakal meluruh dari posisinya saat ini sebagai akibat gesekan dengan molekul-molekul udara disekitarnya di bawah pengaruh aktivitas Matahari sehingga ia bakal jatuh dalam beberapa tahun hingga dekade ke depan, eksistensinya menjadikan antariksa kian berbahaya. Sebagai ilustrasi, 1 kg sampah antariksa yang melesat secepat 10 km/detik mampu meremukkan satelit/wahana antariksa seberat 1 ton yang sedang berada di orbitnya. Jika tabrakan itu terjadi, maka akan terbentuk lebih banyak lagi kepingan sampah antariksa sebagai akibat hancurnya satelit/wahana antariksa berbobot 1 ton itu. Bersamaan dengan kian tumbuhnya industri penerbangan antariksa di masa depan, situasi ini menghasilkan pertumbuhan sampah antariksa yang bakal kian membumbung tinggi. Ini menciptakan sindrom Kessler, saat penambahan jumlah sampah antariksa melampaui kemampuan alami atmosfer Bumi guna meluruhkannya sehingga kuantitasnya kian lama kian meningkat.
Jika tak ada langkah signifikan dan rekayasa manusia, dalam seabad ke depan jumlah sampah antariksa bisa membengkak tak terkendali. Sebagai dampaknya penerbangan antariksa masa depan akan menghadapi resiko tabrakan dengan sampah antariksa yang kian meningkat. Dalam satu dekade ke depan, resiko itu akan meningkat 50 % sedangkan dalam setengah abad ke depan diduga bakal melonjak hingga empat kali lipat. Bagaimana resiko itu meningkat bisa dilihat dari dinamika yang harus dijalani stasiun antariksa ISS. Sekeping logam seukuran 10 cm, satu dari 1.000 keping sejenis yang diproduksi tabrakan satelit Cosmos 2251 dan Iridium 33 pada 2009 silam, melesat dalam jarak yang tergolong berbahaya bagi ISS pada Januari 2012 lalu. Akibatnya roket modul Zvezda pun harus dinyalakan selama 54 detik guna mendorong ISS ke ketinggian obit rata-rata 391,4 km atau lebih tinggi 1,5 km dari semula. Penyalaan ini merupakan penyalaan tak terjadwal yang ke-13 sejak 1998 dan semuanya ditujukan guna menghindari kepingan sampah antariksa.
Peluruhan sampah antariksa pun mendatangkan masalah tersendiri seiring munculnya resiko jatuh di kawasan yang berpopulasi manusia. Dalam setahun terakhir kita menyaksikan betapa problem sampah antariksa demikian terasa seiring jatuhnya sejumlah satelit besar. Diawali oleh UARS (Upper Atmospheric Research Satellite), satelit uzur berbobot 6,5 ton yang jatuh pada 23 September 2011 di Samudera Pasifik. Sebulan kemudian satelit uzur lainnya yakni ROSAT (Roentgen Satellite) milik Jerman yang berbobot 2,4 ton menyusul jatuh, tepatnya pada 23 Oktober 2011 di kawasan hutan lebat Thailand utara. Menyusul kemudian Phobos-Grunt, wahana antariksa jumbo milik Russia dengan bobot total 13,5 ton yang adalah sampah antariksa terberat dalam satu dasawarsa terakhir setelah stasiun antariksa Mir, jatuh pada 15 Januari 2012 di Samudera Pasifik bagian timur. Harap dicatat, ketiganya jatuh tanpa bisa dikendalikan posisi kejatuhannya oleh stasiun-stasiun pengendali di Bumi seiring terbatasnya bahan bakar dan tiadanya mekanisme penggandeng untuk roket tambahan.

Neil Armstrong, Setelah Berkali-kali Bersinggungan dengan Zona Kematian


Langkah Kecil untuk Lompatan Besar, bagian 1
Neil Alden Armstrong. Siapa yang tak pernah mendengar namanya? Barangkali hampir semua orang di kolong langit ini mengenal namanya seiring berlangsungnya era perlombaan antariksa yang dipuncaki dengan keberhasilan pendaratan manusia di Bulan. Pria bertampang kalem dengan pembawaan tenang dan kalkulatif ini adalah manusia pertama yang melangkahkan kakinya di Bulan. Peristiwa bersejarah yang berlangsung pada 21 Juli 1969 pukul 09:56 WIB menempatkan Armstrong di panggung kehormatan yang sejajar diantara para penjelajah pendahulu seperti ibn Batutah, Columbus, Magelhaens hingga Wright bersaudara. Peristiwa yang sama juga membawa dunia pada sebuah era baru, dimana kita tak lagi sekedar melihat mengamati Bulan dari kejauhan dan tak lagi hanya berjalan di sebentuk planet berukuran sedang bernama Bumi saja.
Namanya demikian populer. Pun di Indonesia, negeri yang tak pernah dikunjungi Armstrong dalam rangkaian tur dunianya seiring transisi rezim Orde Lama menuju rezim Orde Baru yang demikian brutal dengan tumbal sedikitnya setengah juta nyawa manusia. Namun di negeri ini pula dan secara umum demikian halnya di kawasan Asia Tenggara, kisah Armstrong berubah warna demikian rupa sehingga barangkali bakal membuat Neil Armstrong sendiri tercengang jika mendengarnya. Mulai dari kisah Armstrong mendengan azan di Bulan, kisah Armstrong menjadi Muslim, kisah Armstrong melintas di atas Makkah bersama wahana antariksanya dan menjumpai medan gravitasi nol hingga kisah Armstrong menemukan telur-telur ajaib di Bulan. Di sini juga kisah kebohongan pendaratan di Bulan, yang dianggap hanyalah bagian dari politik tipu-tipu AS di masa Perang Dingin (dengan salah satu cabang perangnya adalah perlombaan antariksa), tumbuh demikian suburnya dan dipercaya banyak orang.
Dengan segala popularitasnya dalam beragam perspektif itulah maka tak heran jika kita demikian terkejut kala manusia dengan nama besar ini berpulang pada Sabtu 25 Agustus 2012 waktu AS di RS Columbus, Ohio (AS) setelah bergulat melawan komplikasi pasca operasi jantung koroner pada 7 Agustus 2012 lalu. Tak hanya NASA dan lembaga-lembaga keantariksaan lainnya di berbagai penjuru, para pilot dan astronot di berbagai tempat, hingga para ilmuwan dan insinyur pada umumnya, namun publik secara umum pun mengekspresikan rasa duka dan kehilangannya dengan berbagai cara. Presiden Obama bahkan menyatakan rasa dukanya dengan menyebut Armstrong sebagai “…pahlawan besar AS, bukan hanya di masa kini, namun juga di sepanjang masa.”
Gambar 1. Neil Alden Armstrong dengan wajah lelah, usai acara jalan-jalan di Bulan yang bersejarah. Sumber : NASA, 1969.
Armstrong berpulang dalam usia 82 tahun 20 hari. Namun, sebagai pilot pesawat tempur yang kemudian menjadi pilot uji dan akhirnya astronot, Armstrong telah berkali-kali bersinggungan dengan zona kematian yang nyaris merenggut nyawanya. Sebagai penerbang Angkatan Laut AS yang tergabung dalam Skuadron Tempur-51, Armstrong muda turut berkiprah dalam Perang Korea mulai 29 Agustus 1951 hingga lima bulan kemudian. Hanya lima hari setibanya di Korea, pesawat pengintai yang dipilotinya tertembak musuh hingga sulit dikontrol, yang membuatnya harus mengaktifkan kursi penyelamat dan meninggalkan pesawat rusak itu saat melayang di dekat Pohang. Pasca Perang Korea, dimana Armstrong memilih pensiun dini dari Angkatan Laut dan bergabung dengan NASA sebagai pilot uji, berkali-kali pula Armstrong nyaris mati tatkala menguji coba penerbangan pesawat-pesawat eksperimental yang didesain sanggup melejit pada kecepatan supersonik hingga ketinggian di atas 50 km.
Namun persinggungan dramatisnya dengan zona kematian terjadi setelah Armstrong bergabung dengan korps astronot AS sejak 13 September 1962. Sebagai astronot di era penerbangan antariksa demikian muda ibarat bayi baru belajar merangkak, Armstrong dan rekan-rekannya harus dihadapkan pada situasi mencekam: menguji berbagai wahana antariksa terbaru (yang belum pernah diterbangkan sebelumnya) dan menguji coba berbagai teknik penerbangan antariksa terbaru seiring ambisi AS untuk mendaratkan manusia pertama di Bulan sebelum dekade 1960-an berakhir. Semuanya dilakukan dalam lingkungan orbit Bumi dimana udara nyaris tidak ada. Setiap manusia yang diterbangkan ke area tersebut amat bergantung kepada wahana antariksa yang ditumpanginya dan setiap cacat desain akan membuat mereka berhadapan dengan resiko permanen baik berupa terpental ke ketinggian antariksa dan menghilang maupun terjatuh ke Bumi tanpa kontrol.
Pada 16 Maret 1966, Armstrong terbang dengan wahana antariksa Gemini 8 bersama David Scott, sebagai bagian dari ujicoba pendekatan (rendezvous) dan penggandengan (docking) dengan wahana antarika tak-berawak Agena yang telah diterbangkan sebelumnya. Ujicoba ini penting artinya guna memperoleh prosedur dan pengalaman dalam pendekatan dan penggabungan antar wahana antariksa, mengingat pendaratan manusia di Bulan menggunakan wahana antariksa khusus yang berbeda dengan wahana antariksa untuk peluncuran dan kembali ke Bumi. Pendekatan dan penggandengan berlangsung tanpa masalah, namun tatkala Gemini 8 melepaskan diri dari Agena, mendadak Gemini 8 berpilin dengan cepat hingga sebesar 1 putaran per detik, yang cukup berbahaya karena astronot bisa kehilangan orientasi. Krisis tak teratasi meski Armstrong telah menyalakan mesin roket pengatur ketinggian (OAMS) sebagaimana yang disarankan kala menjalani training. Problem teratasi setelah Armstrong berimprovisasi dengan mematikan mesin roket OAMS dan sebaliknya menyalakan mesin roket pengatur pendaratan (RCS), sehingga Gemini-8 berhenti berpilin. Mengingat situasi tersebut, Armstrong dan Scott memutuskan untuk segera mendarat. Di darat, mereka dikecam oleh rekan-rekan sesama astronot karena dianggap mengabaikan prosedur sampai akhirnya penyelidikan NASA menyimpulkan mereka tak bersalah. Armstrong dan Scott bereaksi demikian karena masalah ini belum pernah disimulasikan sebelumnya. Penyelidikan juga menyimpulkan masalah itu muncul karena cacat fisik: ada kabel yang terkelupas sehingga terjadi hubungan pendek.
Gambar 2. Neil Armstrong (kiri) dan David Scott (kanan), keduanya masih dalam kabin Gemini 8 pasca pendaratan darurat dan menanti helikopter pengangkut. Sumber : NASA, 1966.
Persinggungan lainnya terjadi kala Armstrong ditugasi mengujicoba kendaraan Lunar Landing Research Vehicle (LLRV) atau lebih populer dengan julukan Ranjang Terbang. LLRV adalah sejenis pesawat yang bisa terbang dan mendarat secara tegak lurus menyerupai helikopter, namun ditenagai oleh mesin jet khusus. LLRV dirancang untuk menyimulasikan proses pendaratan di permukaan Bulan yang gravitasinya hanya seperenam gravitasi Bumi. Pada 6 Mei 1968, setelah berhasil melambungkan LLRV untuk kesekian kalinya hingga mencapai ketinggian 30 meter, Armstrong mencoba mendaratkannya kembali. Tanpa diduga, LLRV mendadak mulai miring ke satu sisi. Armstrong pun segera menekan tombol pelontar kursi penyelamatnya tepat pada waktunya dan berhasil mendarat dengan selamat dengan satu luka ringan pada lidahnya karena tergigit. Analisis memperlihatkan, andaikata Armstrong terlambat 0,5 detik saja menekan tombolnya, parasutnya tak bakal mengembang sempurna dan ia bakal mencium Bumi dengan keras. Meski nyaris terbunuh, Armstrong menyimpulkan LLRV cukup bermanfaat bagi para astronot guna mengenali prosedur pendaratan di Bulan.
Persinggungannya dengan zona kematian yang paling populer tentulah dalam misi antariksa Apollo 11 yang melambungkan namanya. Setelah mengangkasa sejak 16 Juli 1969, Armstrong dan Edwin Aldrin yang menjadi tandemnya mengaktifkan modul bulan  Eagle dan memisahkannya dari modul komando Columbia. Keterbatasan teknologi saat itu membuat Armstrong dan Aldrin menyadari Eagle bakal meleset hingga sejauh beberapa kilometer dari target pendaratan. Saat kian mendekati permukaan Bulan, mereka mendapati lokasi pendaratan (yang semula nampak halus mulus) ternyata dipenuhi bongkahan-bongkahan besar yang bisa merusak modul Eagle. Pada ketinggian 1,8 km, segera mereka mengubah proses pendaratan dari otomatis menjadi semi-otomatis. Sehingga mereka bisa menggeser modul Eagle ke timur menggunakan bahan bakar pendaratan, meski jumlahnya terbatas. Jika bahan bakar pendaratan habis, Armstrong dan Aldrin tak punya pilihan lain kecuali menekan tombol untuk membawa mereka mengangkasa kembali ke orbit modul komando Columbia. Hingga 60 detik sebelum bahan bakar pendaratan habis, tempat yang bagus belum ditemukan. Stasiun pengendali misi Houston langsung berdebar dan senyap tatkala jumlah bahan bakar terus menurun hingga tinggal 30 detik, sampai akhirnya Armstrong menemukan tempat yang cocok. Di tengah ketegangan itu, dimana denyut jantung Armstrong meroket hingga 165 kali per menit sementara pengendali misi Houston telah lama menahan napas, modul Eagle pun mendarat dengan selamat dengan sisa bahan bakar pendaratan hanya 5,6 %. Saat itulah kata-kata bersejarah itu terucap: “Houston, Tranquility Base here. The Eagle has Landed.”
Gambar 3. Lunar Landing Research Vehicle (LLRV) alias si Ranjang Terbang, pesawat untuk menyimulasikan pendaratan di Bulan. Sumber : NASA, 1968.
Masalah berikutnya muncul setelah usainya acara jalan-jalan di Bulan dalam rangka memasang bendera AS, memasang seismometer (pencatat gempa Bulan), memasang cermin retroreflektor (guna mengukur jarak Bumi-Bulan secara sangat teliti menggunakan sinar laser dan teleskop khusus). Kala berada di dalam kabin modul Eagle, tanpa diduga Aldrin tersandung hingga membentur dinding dan tanpa sengaja merusak tombol guna menyalakan mesin roket agar mereka bisa mengangkasa kembali dan bergabung dengan modul komando Columbia. Cemas pun menyergap pengendali misi Houston. Betapa tidak, dengan jarak Bumi ke Bulan yang demikian jauh, mereka tidak punya rencana cadangan untuk masalah seperti ini. Armstrong dan Aldrin pun dikhawatirkan bakal terjebak di permukaan Bulan hingga tewas tanpa bisa terbang kembali untuk pulang. Namun lagi-lagi masalah ini terpecahkan lewat improvisasi Armstrong. Memanfaatkan ujung logam pada pena khusus yang dibawanya, tombol yang rusak itu berhasil diaktifkan. Roket pun menyala dan kembali kelegaan membanjiri pengendali misi di Houston. Sejarah baru pun tercatat pada 24 Juli 1969, atau 8 hari setelah meluncur ke langit, saat Armstrong, Aldrin dan Michael Collins (pilot modul komando Columbia, yang tidak ikut mendarat di Bulan) nyemplung dengan selamat di Samudera Pasifik sejauh 380 km di sebelah selatan pulau karang atol Johnston, sebelah timur laut Papua Nugini.
Kini, tepat 43 tahun 35 hari setelah langkah kakinya yang bersejarah di lautan pasir Transquilitatis di Bulan sembari mengucapkan kata-kata legendarisnya:”That’s one small step for a man, one giant leap for mankind,” Armstrong akhirnya benar-benar memasuki zona kematian. Ia memang telah tiada. Namun namanya bakal abadi terpatri sepanjang masa, sebagai sosok pembuka era baru dalam peradaban manusia dan melangkahkan kaki di bagian lain tata surya kita.

Elang Itu Telah Terbang Berpulang


Neil Alden Armstrong. Barangkali hampir semua orang di kolong langit ini pernah mendengar namanya khususnya bila dikaitkan dengan era perlombaan antariksa yang dipuncaki keberhasilan pendaratan manusia di Bulan. Pria bertampang kalem, tenang dengan sorot mata penuh selidik dan kalkulatif ini adalah orang pertama yang menapakkan kakinya di Bulan. Peristiwa bersejarah yang berlangsung pada 21 Juli 1969 pukul 09:56 WIB menempatkan kita semua memasuki sebuah era baru, dimana manusia tak lagi sekedar melihat mengamati Bulan dari kejauhan dan tak lagi hanya mengeksplorasi sebentuk planet berukuran sedang bernama Bumi saja.
Bersama dengan Edwin E. Aldrin Jr dan Michael Collins, pria kelahiran Wapakoneta, Ohio (AS) ini menjadi astronot misi antariksa Apollo 11 dan dibebani tugas khusus yang belum pernah terjadi dalam penerbangan-penerbangan antariksa sebelumnya, yakni mendarat di Bulan. Mereka dikukuhkan sebagai kru Apollo 11 sejak 23 Desember 1968 melalui keputusan Deke Slayton, pimpinan korps astronot AS, setelah melalui perdebatan hangat dan penelusuran ketat. Slayton juga menetapkan Armstrong menduduki posisi tertinggi dalam Apollo 11 yakni sebagai komandan misi, yang membawahi Aldrin (pilot modul bulan) dan Collins (pilot modul komando).
Namun siapa yang bakal melangkahkan kaki untuk pertama kali di Bulan baru bisa diputuskan pada Maret 1969 dalam pertemuan yang dihadiri Slayton, George Low, Bob Gilruth dan Chris Kraft. Armstrong terpilih sebab di antara ketiga astronot Apollo 11, ia memiliki ego paling rendah dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Posisi Armstrong sebagai komandan misi, sehingga ia bakal duduk di kursi tengah di antara tiga kursi yang tersedia dalam kabin modul komando Apollo, juga menjadi salah satu pertimbangan. Sebab dengan demikian Armstrong lebih mudah mengakses modul bulan dibanding dua rekannya. Meski demikian pertimbangan ini tidak pernah dipublikasikan hingga 2001 silam. Keputusan inilah yang menentukan posisi mantan penerbang tempur Angkatan Laut AS, yang turut berpartisipasi dalam Perang Korea namun kemudian memilih pensiun dini dan beralih menjadi pilot uji pesawat-pesawat eksperimental NASA sebelum kemudian mendaftar sebagai astronot, dalam pentas sejarah peradaban manusia.
Gambar 1.
Neil Alden Armstrong dengan wajah cerah meski tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya, usai acara jalan-jalan di Bulan yang bersejarah.
Sumber : NASA, 1969.
Maka sejarah pun bergulir. Wahana antariksa Apollo 11 pun disiapkan dengan modul komando diberi nama Columbia, mengikuti nama obyek imajiner yang dilontarkan meriam raksasa dari Florida dalam novel From Earth to Moon dari Jules Verne (1865). Mengikuti saran astronot Jim Lovell, maka modul bulan dinamakan Eagle, merujuk pada burung Bald Eagle yang menjadi lambang nasional AS. Profil burung ini pun muncul dalam emblem misi, rancangan Michael Collins, yang menggambarkan burung elang hendak mendarat di Bulan dengan Bumi nan kebiruan mengapung di latar belakang. Guna mengekspresikan bahwa pendaratan bersejarah ini bukanlah sekedar urusan AS semata, namun lebih dari itu adalah mewakili segenap manusia di dunia dengan peradabannya, maka baik Armstrong, Aldrin dan Collins sepakat tidak mencantumkan nama-namanya dalam emblem misi, sebagaimana tradisi dalam penerbangan antariksa AS.
Apollo 11 akhirnya mengangkasa dengan mulus pada 16 Juli 1969 di bawah dorongan amat kuat dari roket raksasa Saturnus 5, satu-satunya roket di Bumi yang sanggup menempatkan beban seberat 45 ton ke pintu gerbang orbit transfer Bumi-Bulan. Sejarah kemudian mencatat hampir semua tahap penerbangan berlangsung mulus sesuai yang direncanakan, sehingga modul bulan Eagle berisikan Armstrong dan Aldrin pun akhirnya mendarat dengan mulus pada 20 Juli 1969 waktu AS di Laut Ketenangan (Mare Transquilitatis), hanya 3 km dari garis ekuator Bulan. Enam jam kemudian Armstrong pun menapakkan kakinya di tanah Bulan yang halus mirip tepung sembari mengumandangkan kata-kata bersejarah itu,”That’s one small step for a man, one giant leap for mankind.” Tak lama kemudian Aldrin pun menyusul. Kegembiraan pun merebak dimana-mana, tidak hanya di AS, kala penduduk dunia menyaksikan tapak demi tapak kaki Armstrong dan Aldrin di Bulan melalui siaran televisi hitam putih. Saking gembiranya, Presiden Nixon segera menelpon dan berbincang dengan Armstrong yang sedang bersiap menancapkan bendera AS. Inilah percakapan telepon dengan jarak terjauh sepanjang sejarah.
Hanya 21,5 jam Armstrong dan Aldrin berada di Bulan dan selama waktu itu hanya 2,5 jam diantaranya mereka berdua bisa berjalan-jalan di Bulan untuk melakukan tugas-tugasnya, mulai dari memasang bendera AS, memasang seismometer (pencatat gempa Bulan), memasang cermin retroreflektor (guna mengukur jarak Bumi-Bulan secara sangat teliti menggunakan sinar laser dan teleskop khusus), mengumpulkan batu dan tanah Bulan, mencatat sejumlah fenomena menarik dan berjalan kaki hingga sejauh sekitar 100 meter sembari mencermati tekstur tanah Bulan. Namun semua tahu, sejarah baru telah tercipta. Maka tatkala ketiga astronot itu kembali ke Bumi pada 24 Juli 1969, popularitas segera mengiringi. Setelah harus menjalani karantina 21 hari sesuai peraturan guna mengeliminasi kemungkinan bakteri patogen (bila ada) yang terbawa dari antariksa dan khususnya dari Bulan, ketiga astronot pada umumnya dan Armstrong pada khususnya sontak segera meminta perhatian dunia, kemanapun mereka pergi. Apalagi Presiden Nixon telah menyiapkan penyambutan besar-besaran, mencakup parade di New York, Chicago dan Los Angeles serta tur dunia ke 25 negara sahabat lainnya.
Gambar 2.
Lokasi pendaratan modul bulan Eagle di Mare Transquilitatis. Nampak sisa modul (LM), kamera (camera), cermin retroreflektor (LRRR) dan seismometer Bulan (PSEP) dengan alur-alur memanjang diantaranya yang adalah jejak-jejak kaki Armstrong dan Aldrin di Bulan. Citra diambil oleh satelit Lunar Reconaissance Orbiter pada ketinggian 24 km pada resolusi 25 cm/pixel. Jarak antara LM dan kawah besar di sebelah kanannya adalah 50 meter.
Sumber : NASA, 2012.
Nama Armstrong demikian populer pun di Indonesia, negeri yang tak pernah dikunjungi Armstrong dalam rangkaian tur dunianya seiring transisi rezim Orde Lama menuju rezim Orde Baru yang brutal dengan tumbal sedikitnya setengah juta nyawa manusia. Namun di negeri ini dan secara umum demikian halnya di kawasan Asia Tenggara, kisah tentang Armstrong berubah warna demikian rupa sehingga barangkali bakal membuat Neil Armstrong sendiri tersenyum geli jika mendengarnya. Mulai dari kisah Armstrong mendengan azan di Bulan, kisah Armstrong menjadi Muslim, kisah Armstrong melintas di atas Makkah bersama wahana antariksanya dan menjumpai medan gravitasi nol hingga kisah Armstrong menemukan telur-telur ajaib di Bulan. Di sini juga kisah kebohongan pendaratan di Bulan, yang dianggap hanyalah bagian dari politik tipu muslihat AS di masa Perang Dingin (dengan salah satu cabang perangnya adalah perlombaan antariksa), tumbuh demikian suburnya dan dipercaya banyak orang.
Dengan segala popularitasnya itulah maka tak heran jika dunia demikian terpana kala manusia dengan nama besar ini berpulang pada Sabtu 25 Agustus 2012 waktu AS di RS Columbus, Ohio (AS) dalam usia 82 tahun 20 hari setelah bergulat melawan komplikasi pasca operasi jantung koroner 7 Agustus 2012 lalu. Armstrong berpulang tepat 43 tahun 35 hari pasca langkah kakinya yang bersejarah di Mare Transquilitatis. Tak hanya NASA dan lembaga-lembaga keantariksaan lainnya di berbagai penjuru, para pilot dan astronot di berbagai tempat, hingga para ilmuwan dan insinyur pada umumnya, namun publik secara umum pun mengekspresikan rasa duka dan kehilangannya dengan berbagai cara. Presiden Obama bahkan menyatakan rasa dukanya dengan menyebut Armstrong sebagai “…pahlawan besar AS, bukan hanya di masa kini, namun juga di sepanjang masa.”
Sang Elang kini akhirnya benar-benar terbang untuk berpulang kepada Penciptanya. Ia telah tiada. Namun langkah kakinya masih tercetak jelas di Bulan, hatta telah berselang 43 tahun silam. Demikian pula namanya, yang bakal abadi terpatri sepanjang masa, sebagai sosok pemberani yang membuka kunci menuju era baru peradaban manusia dalam melangkahkan kaki di bagian lain tata surya kita.

Badai Sejak 1851 Dipetakan Jadi Grafik Visual

Badai Katia dipotret dari luar angkasa

Jika anda ingin melihat sejarah panjang badai di muka bumi ini, Anda kini bisa mengetahuinya secara mudah. Kini terdapat sebuah grafik visual yang memetakan badai sejak 1851.

John Nelson, User Experience and Mapping manager IDV Solutions, sebuah
perusahaan visualisasi data, telah menyusun visualisasi data badai melalui peta yang menunjukkan lokasi dan intensitas setiap badai. Masuk dalam kriteria ini adalah badai tropis yang tercatat sejak 1851.

Mengutip laman NewScientist, Nelson menggunakan database akumulasi oleh US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Nelson memasukkan lebih dari 12.000 titik data dalam infografik ini.

Peta tersebut menggunakan skala Saffir-Simpson, yang memeringkat badai dengan kecepatan angin maksimum dari kategori 1  (lebih lambat dari 153 kilometer per jam) sampai ke kategori 5, di mana kecepatan angin puncak 252 km per jam. Badai lemah dalam infpgrafik ini diwakili oleh titik biru, sedangkan badai kuat ditandai dengan warna hijau listrik.

Nelson memilih sudut pandang bottom-up yang tidak biasa dari bumi, dengan Antartika sebagai pusat. Sebab, ia menemukan pandangan ini merupakan pandangan terbaik yang mewakili pola yang mendasari pembentukan badai.

Salah satu fitur yang sangat mencolok adalah tidak adanya jumlah titik-titik data di sekitar khatulistiwa, pita hitam antara dua lingkaran berwarna. Hal ini karena gaya Coriolis, sesuatu yang penting dalam pembentukan badai, yang menunjukkan badai terlalu lemah untuk beroperasi pada lintang khatulistiwa.

Sebelum mulai khawatir tentang tingginya jumlah badai yang diproyeksikan di seluruh Eropa dan Amerika Utara, data ini hanya merupakan representasi. Pencitraan satelit rinci dari belahan timur dan selatan merupakan perkembangan yang relatif baru, sehingga secara alami dan arsip NOAA kurang lengkap untuk bagian-bagian dunia seperti dapat dilihat pada grafik di bawah ini yang menunjukkan distribusi data yang tersedia dari waktu ke waktu.

NASA Ungkap Temuan Jejak Dinosaurus


Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) kali ini harus berurusan dengan dinosaurus. Sebuah kabar mengejutkan yang amat jarang berhembus dari lembaga yang kini tengah sibuk mengeksplorasi Planet Mars.

Tapi itulah yang terjadi minggu lalu, setelah jejak kaki binatang purba dinosaurus lamban, berukuran seperti tank dengan tonjolan mirip duri, yang disebut nodosaurus ditemukan di halaman Goddard Space Flight Center.

Diduga kuat, ratusan juta tahun lalu, sebelum para ilmuwan cerdas NASA bekerja tanpa henti mengeksplorasi alam semesta, laboratorium mereka di Maryland telah menjadi rumah bagi dinosaurus herbivora yang makan tumbuhan.

Jejak kaki besar, selebar 12 inchi atau sekitar 30 centimeter adalah yang kali pertama ditemukan oleh pencari jejak dinosaurus, Ray Stanford. Jejak itu memiliki empat jari. Untuk diketahui, nodosaurus yang tinggal di area itu sekitar 110 juta tahun lalu, pada periode Cretaceous diperkirakan memiliki ukuran serupa gajah kecil.
Jejak dinosaurus di Goddard Space Flight Center NASA

Saat Stanford mengungkap temuan mengejutkan pada NASA 17 Agustus 2012 lalu, lembaga tersebut cepat-cepat melibatkan Rob Weems dari Badan Survei Geologi AS (USGS).

Weems lantas mengonfirmasi, jejak itu asli. Ia juga menemukan jejak kedua yang diduga milik hewan jenis serupa, hanya lebih kecil. Diduga milik anak-anak nodosaurus.

"Jika jejak pertama itu adalah milik seekor betina, ia diduga memiliki satu atau lebih anak yang berjalan mengikuti ke mana-mana. Seperti halnya anak anjing atau kucing berjalan bersama induknya," kata Weems dalam siaran pers NASA.

Meski jejak mereka tak searah, karena bintang yang lebih muda biasanya mengendus ke mana-mana dan tak fokus, tapi toh mereka menuju ke tempat yang sama dengan para hewan dewasa.

Menurut ahli, diduga nodosaurus kala itu sedang berjalan tergesa di atas lumpur. Sebab, jejak yang mereka tinggalkan tak seberapa dalam.

Di mana persisnya bagian halaman yang menyimpan jejak dinosaurus, sengaja dirahasiakan dan disterilkan, agar tidak diintervensi siapapun. Para ahli lain diharapkan melanjutkan penelitian untuk mengungkap jejak lain di area itu.

Untuk Ray Stanford, seorang paleontolog amatir, mengaku, temuannya itu sangat berarti. "Para ilmuwan luar angkasa berjalan di tempat yang sama dengan dinosaurus besar, agak ceroboh, dengan tubuh 'berlapis baja' di masa lalu, 110 atau 112 juta tahun lalu. Bagi saya, ini sangat puitis," kata dia.

Stanford menambahkan, di area yang sama ia juga menemukan jejak-jejak lebih kecil, berjari tiga, yang diduga milik theropoda, dinosaurus pemakan daging.

Pejabat NASA kini sedang berkonsultasi dengan pemerintah Negara Bagian Maryland dan para ahli paleontologi dalam rangka mendokumentasikan temuan, sekaligus melestarikannya.

Model dinosaurus yang jejaknya ditemukan di Goddard Space Flight Center NASA

Neil Armstrong, Bulan, dan Mars



Pada saat kami berdukacita karena kehilangan orang yang sangat baik, kami juga merayakan kehidupannya yang luar biasa, dan berharap itu bisa menjadi teladan bagi orang muda di seluruh dunia untuk bekerja keras dan menjadikan impian mereka satu kenyataan, mau menjelajah dan menerima tantangan ('push the limit'), dan membela cita-cita yang lebih besar dari diri mereka tanpa memikirkan diri sendiri.”

Itulah pernyataan yang disampaikan oleh keluarga Neil Armstrong, antariksawan Amerika yang menjadi manusia pertama yang menginjakkan kaki di Bulan dalam program Apollo 11, 20 Juli 1969, seperti dikutip CNN, Minggu (26/8). Armstrong tutup usia, Sabtu, di Cincinnati, Ohio, dalam usia 82 tahun menyusul komplikasi kardiovaskular yang dideritanya setelah menjalani operasi jantung bulan ini.

Armstrong dikenal lewat ucapannya sesaat setelah menginjakkan kaki di Bulan, ”Itu adalah satu langkah kecil bagi (seorang) manusia, tetapi lompatan raksasa bagi kemanusiaan.”

Riwayat Armstrong tak bisa dipisahkan dari proyek Apollo yang dicanangkan oleh Presiden John F Kennedy pada 1961. Inilah proyek untuk mendaratkan warga Amerika di Bulan sebelum berakhirnya dekade 1960-an. Setelah itu AS—dengan didukung ahli peroketan termasyhur, Wernher von Braun—membuat roket raksasa Saturnus V untuk meluncurkan wahana antariksa Apollo yang membawa tiga astronot. Roket setinggi 111 meter, setara dengan gedung bertingkat 36, itu sanggup membangkitkan 4 juta kilogram daya dorong dan mengangkut 150 ton muatan ke orbit Bulan (Space Age, William Walter, 1992).

Ketika mencapai orbit Bulan, dua astronot akan turun mendarat di Bulan dengan modul Bulan, mengambil contoh batu dan tanah Bulan, serta melakukan eksperimen yang datanya dikirim kembali ke Bumi.

Misi Apollo 11 yang membawa Armstrong sudah didahului dengan empat misi pendahuluan. Setelah Armstrong juga masih ada lima misi yang mendarat di Bulan sebelum proyek berakhir tahun 1972. Harusnya ada enam, tetapi Apollo ke-13 gagal mencapai tujuan.

Misi Armstrong diluncurkan tanggal 16 Juli 1969 dan empat hari kemudian mendarat di Laut Ketenangan di permukaan Bulan. Setelah mendarat Armstrong berkata, ”Pangkalan Ketenangan di sini. Rajawali telah mendarat” (Oxford Dictionary of Space Exploration).

Enggan publisitas

Pada tahun-tahun setelah keberhasilan misi Apollo 11, Armstrong berulang-ulang ditanya, apa yang ia rasakan sebagai manusia pertama yang menginjakkan kaki di Bulan, ia selalu menjawabnya dengan santun bahwa itu merupakan keberhasilan banyak orang.

”Saya sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan puncak karya 300.000 sampai 400.000 orang selama satu dasawarsa.”

Itulah Armstrong yang amat rendah hati. Armstrong mengaku dirinya hanyalah insinyur yang kurang gaul. Namun, dengan segala kerendahan hatinya, ia adalah pahlawan yang ikut dalam 78 misi tempur sebagai pilot pesawat tempur Angkatan Laut AS selama Perang Korea. Ia juga membukukan lebih dari 1.000 jam terbang sebagai pilot penguji dalam sejumlah pesawat paling cepat—juga paling berbahaya—di dunia.

Penulis biografinya, James R Hansen menyebut Armstrong sebagai ”salah satu sosok yang paling dikenal, tetapi paling sedikit dimengerti di planet ini” (LA Times, 26/8).

Neil Alden Armstrong lahir di ladang pertanian kakeknya dekat Wapakoneta, Ohio, 5 Agustus 1930, dari keluarga bahagia dan konvensional. Ayahnya, Stephen Armstrong, adalah pegawai negeri yang bekerja di Ohio dan kemudian menjadi Asisten Direktur di Departemen Kesehatan dan Perbaikan Jiwa Ohio. Sementara ibunya, Viola, bersama keluarganya adalah pemilik ladang pertanian.

Armstrong sudah tertarik pada dunia penerbangan sejak usia dini dan ia mendapatkan lisensi terbang saat berusia 16 tahun. Berikutnya, ia juga belajar teknik aeronautika dan mendapatkan gelar di Universitas Purdue dan Universitas California Selatan. Ia pernah berdinas di Angkatan Laut AS dan ambil bagian dalam Perang Korea.

Armstrong sepanjang karier astronotnya terbang dua kali ke ruang angkasa. Yang pertama adalah pada tahun 1966 sebagai Komandan Misi Gemini 8, yang nyaris berakhir dengan bencana. Untunglah dia tetap tenang dan membawa wahana antariksa itu kembali ke Bumi setelah sebuah roket pendorong gagal bekerja dan wahana yang ia tumpangi berpusing tak terkendali.

Pascamisi bersejarah ke Bulan, Armstrong bekerja di NASA dengan tugas mengoordinasikan dan mengelola pekerjaan riset dan teknologi Badan Ruang Angkasa AS ini. Tahun 1971, ia mundur dari NASA dan mengajar ilmu teknik di Universitas Cincinnati selama hampir 10 tahun.

Armstrong yang pijakan kakinya disaksikan oleh sekitar 600 juta orang melalui tayangan langsung televisi hitam putih yang berbintik-bintik itu kini telah berpulang. Dalam pernyataannya, Presiden Barack Obama mengatakan, ketika Armstrong menginjakkan kaki di Bulan, ”Ia telah memberikan satu momen prestasi umat manusia yang tak akan dilupakan.”

Misi Armstrong bersama kedua rekan awaknya—Edwin Aldrin dan Michael Collins—lepas landas di Tanjung Canaveral, mereka membawa aspirasi seluruh bangsa. Menurut Obama, mereka berangkat untuk memperlihatkan kepada dunia semangat AS bisa melihat apa yang tampaknya tak terbayangkan.

Riwayat Neil Armstrong, sejauh ada buku sejarah—seperti dikatakan Administratur NASA Charles Bolden—pasti akan ditemukan di sana karena perjalanan Apollo 11 sejauh 400.000 km tak akan pernah terlupakan.

Kini, anak-anak muda yang terinspirasi oleh heroisme Armstrong banyak yang menunggu kesempatan membuat sejarah baru. Memang tidak ada pencanangan program ruang angkasa baru hingga Proyek seperti Apollo yang disebut menghabiskan dana lebih dari 24 miliar dollar AS—sekitar Rp 228 triliun (Webster’s New World Encyclopedia) tak akan berulang lagi.

Namun, AS giat menjelajahi planet Mars, seperti diperlihatkan dalam pendaratan penjelajah Curiosity dua pekan silam, sehingga diharapkan manakala dana telah cukup tersedia, ikhtiar manusia mencari lebensraum baru—mengingat Bumi yang semakin merosot tingkat kelayakan huninya—bisa dimulai lagi.

Keanggunan kepahlawanan Neil Armstrong kiranya akan terus menjadi obor bagi generasi umat manusia yang ditakdirkan menjadi pengelana angkasa.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger | Printable Coupons